Pilih Mana: Jadi Spesialis atau Generalis?

“The rule says to become world-class at anything, you have to put in 10.000 hours of practice” — Malcolm Gladwell

Pada tahun 2008, Malcolm Gladwell meluncurkan bukunya yang berjudul ‘Outliers: The Story of Success’, sebuah buku yang berisikan tentang rahasia sukses seseorang dari berbagai perspektif. Buku ini langsung melejit setelah sang penulis berani membuat klaim bahwa untuk menjadi suatu ahli atau spesialis dalam bidang tertentu membutuhkan waktu sekitar 10.000 jam dengan pendekatan latihan yang benar. 

Beberapa lama setelahnya, seorang peneliti bernama Ander Erickson yang penelitiannya digunakan di buku Outliers mengeluarkan pendapatnya. Dia menganggap bahwa teori ‘10.000 jam’ hanyalah mitos — ‘A provocative generalization’ dia menyebutnya — dan menganggap Malcolm terlalu menyederhanakan riset yang dilakukan bersama kolega-koleganya.

David Epstein kemudian ikut ‘membantah’ teori ‘10.000’ jam miliki Gladwell dalam bukunya yang berjudul ‘Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World’ yang tidak hanya menyudutkan perspektif spesialis yang diambil oleh Gladwell, tapi juga menjelaskan tentang keuntungan dari menjadi generalis di dunia digital sekarang.

Memang sih, topik ‘generalis versus spesialis’ ini sudah terjadi sejak lama dan semakin terdengar ‘pertarungannya’ setelah Malcolm Gladwell membuat teori ‘10.000’ jam yang kemudian dibantah oleh banyak orang. Kita semua pasti pada satu titik pernah bertanya, apakah saya harus menjadi seorang spesialis atau generalis ya di masa depan?

‘Ilusi’ Menjadi Spesialis

Saat kita kecil dulu, kita pasti sering diberitahu oleh orang tua kita untuk fokus pada kemampuan kita yang paling mumpuni. Setiap orang pasti punya kemampuan ini, entah itu dalam bidang akademis, olahraga, seni, atau bidang lainnya. 

Budaya untuk ‘fokus pada kemampuan terbaik’ ini memang secara langsung mendidik kita untuk menjadi seorang spesialis, yaitu orang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang dalam tentang suatu bidang. Karena memang secara logika, jika satu orang terus belajar dan terus berlatih fokus untuk satu bidang, orang tersebut akan punya pemahaman yang mendalam dan punya pengalaman yang lebih lama dibandingkan orang lain yang baru belajar.

Tapi ternyata, buku karya David Epstein yang berjudul ‘Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World’ membuktikan bahwa kasusnya tidak melulu seperti itu. Dalam bukunya, dia mengambil contoh dari Tiger Woods, seorang pegolf dunia yang sejak umur 7 bulan sudah diajarkan oleh ayahnya tentang dunia golf. Sejak saat itu, dia sudah dilatih oleh orang tuanya untuk menjadi spesialis dalam dunia golf.

Menurut David Epstein, ada beberapa hal yang membuat Tiger Woods bisa menjadi seorang spesialis seperti sekarang. Yang pertama adalah lingkungan yang membuat Tiger Woods sendiri. Epstein mengatakan Tiger Woods hidup dan berkembang dalam lingkungan yang berbentuk kind environment, dimana dia berlatih dengan sumber daya manusia yang optimal, instruksi yang jelas, punya aturan yang jelas dan dapat direpetisi dengan sempurna.

Selain kind environment, ada juga lingkungan belajar yang berbentuk wicked environment, dimana informasi pembelajaran mungkin saja terhalang oleh satu dan lain hal, tanpa aturan yang jelas, pola pembelajaran bisa berubah dan feedback yang didapat bisa tidak akurat. Dengan begitu, Epstein melihat pola bahwa para anak-anak berbakat — atau yang sering disebut sebagai child prodigies — bisa menjadi orang-orang hebat karena mereka berkembang di dalam kind environment. Dengan kata lain, menjadi seorang spesialis seperti Tiger Woods tidak hanya membutuhkan bakat dan kerja keras, tapi juga bentuk lingkungan pelajaran yang mendukung dan terus-menerus mengasah bakat yang mereka miliki.

Inilah yang menjadi ‘ilusi’ menjadi seorang spesialis yang kadang orang tidak mengetahuinya. Butuh proses yang sangat panjang untuk menjadi seorang spesialis, apalagi spesialis yang punya skill mendunia seperti Bobby Fischer dan Tiger Woods.

Serba Cepat, Serba Dinamis

Era digital seperti sekarang memaksa masyarakat untuk bisa melakukan semuanya dengan serba cepat dan dinamis. Epstein mengatakan bahwa sekarang kita berada di dunia pembelajaran yang berbentuk wicked environment, dimana kita bisa mengandalkan pola yang hampir selalu sama seperti dulu, karena informasi terus menerus mengalir 24/7 tanpa henti. Berbeda jauh dengan abad ke-20 dimana semuanya masih berjalan pelan dan fokus sehingga menghasilkan banyak spesialis.

Untuk menghadapi dunia wicked environment ini, Epstein berargumen bahwa sudah saatnya orang menjadi seorang generalis; seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang banyak bidang dan mampu melihat satu masalah dari berbagai perspektif. Di era digital dimana seseorang bisa mendapatkan informasi dengan lebih cepat, menjadi generalis mempunyai proses yang lebih mudah dibandingkan menjadi seorang spesialis yang jelas membutuhkan waktu yang lebih banyak.

Efeknya, banyak perusahaan yang mencari seorang generalis karena dinilai serba bisa, mampu berkontribusi lebih banyak dibandingkan seorang spesialis yang hanya fokus pada satu bidang. Seorang generalis dipandang lebih kreatif, mampu berpikir out-of-the-box dan menciptakan satu ide baru yang segar. Dan di bukunya, David Epstein memberikan contoh dengan menceritakan tentang kisah dari Gunpei Yokoi yang berhasil menciptakan satu mainan revolusioner dari Nintendo, GameBoy.

Rahasia dari pembuatan GameBoy ini adalah bagaimana Gunpei Yokoi menggabungkan pengetahuan berbagai bidang dan menyatukannya dalam satu wadah, yang secara filosofis disebut dengan ‘lateral thinking with withered technology’. Gunpei Yokoi menggabungkan berbagai bidang teknologi yang sudah ada, sudah dimengerti dan mampu dijangkau dan dibeli oleh masyarakat luas dalam satu wadah baru yang membuat semua orang dapat merasakan manfaatnya.

Ya, seorang generalis memang sudah seharusnya dapat berpikir lebih luas ketimbang spesialis!

Kalau Bisa Dua, Kenapa Harus Satu?

Setelah melihat penjelasan di atas, rasanya kita malah semakin bingung bukan apakah mau menjadi spesialis atau generalis? Jika kamu bingung, kamu bisa mengikuti saran dari pembuat buku yang berjudul ‘Making FIRE Possible’ yang kebetulan juga seorang career change expert, Caroline Ceniza-Levine.

Caroline berpendapat bahwa kita sebenarnya tidak perlu memilih salah satu antara menjadi seorang spesialis atau generalis, karena kita bisa mendapatkan manfaat yang baik dari keduanya.

1. Menjadi Spesialis Dalam Topik Yang Kita Kuasai

Bakat sejatinya adalah satu anugrah yang harus kita kembangkan, dengan cara terus mempelajari dan terus mengembangkan apa yang kita punya lebih dalam. Perusahaan pada dasarnya ingin mempekerjakan karyawan yang ahli dalam bidangnya, maka dari itu tunjukan dengan jelas bahwa kamu terus belajar untuk menjadi ahli dalam topik yang kamu kuasai, sehingga posisi kamu dalam topik tersebut tidak akan mudah untuk digantikan.

2. Menjadi Generalis Dalam Mengasah Skill

Saat kita sedang mempelajari skill baru, usahakan untuk tidak terlalu fokus dan terus kembangkan diri dengan melihat melalui perspektif lainnya. Contohnya, saat kita ingin belajar tentang pemasaran, kita tidak boleh terlalu fokus belajar tentang teori-teori pemasaran saja. Kita juga harus belajar bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, berlatih mimik ekspresi, belajar alat digital, dan mungkin mempelajari bagaimana memahami lawan bicara kita.

3. Menjadi Spesialis Dalam Mengejar Target

Mengejar target secara spesifik tidak hanya membuat kita fokus pada proses, tapi juga dapat membuat kita ‘memancarkan’ passion yang kita punya. Dengan memperlihatkan tahap-tahap proses yang fokus dan terperinci, orang-orang akan tahu bahwa kamu akan sangat menginginkan target tersebut dengan usaha yang gigih. Jelas, hal ini akan berpengaruh positif terhadap karisma diri yang kita miliki.

4. Menjadi Generalis Dalam Pendekatan

Walaupun kamu memiliki target yang spesifik, jangan sampai target ini membuat kamu mempunyai pemikiran yang sempit, terlihat kaku, dan menganggap hal-hal lain selain target tersebut tidak penting. Untuk itu, pastikan pendekatan yang kamu lakukan selalu kreatif dan out-of-the-box, dimana kamu bisa melihat proses secara garis besar dan mampu menggunakan pendekatan dari berbagai perspektif. Ini tidak hanya akan membuat kamu lebih cepat sampai pada tujuan kamu, tapi juga dapat menjadi sarana latihan untuk skill interpersonal, kreatifitas, dan menjadi inovatif dari orang lain.

Jika kita ingin mengambil kesimpulan dari apa yang disarankan oleh Caroline Ceniza-Levine, kita sebenarnya bisa menyerap apa yang baik dari spesialis maupun generalis dan menampungnya dalam satu sikap dan etos berpikir yang dinamis namun tetap fokus. Dengan meletakan sikap generalis dan spesialis pada porsi yang tepat, kita dapat berkembang lebih optimal.

Penulis: Ben Aryandiaz Herawan


Posted

in

, ,

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.